Tantangan Kenya Menghadapi Isu Covid-19 dan Pengungsi – Keamanan adalah hal yang terlalu dibutuhkan oleh manusia. Adanya rasa safe membawa dampak manusia laksanakan aktivitasnya tanpa harus kuatir bersama gangguan-gangguan yang ada. Konsep keamanan pun tak hanya berlaku bagi manusia, tapi terhitung kepada negara. Negara membutuhkan keamanan berasal dari beraneka ancaman, baik internal maupun eksternal.
Keamanan yang dibutuhkan oleh negara tak lain untuk merawat warganya itu sendiri. Hal-hal fundamental didalam kehidupan manusia yakni keamanan pangan, keamanan insani, dan isu lingkungan pun menjadi fokus keamanan negara. Salah satu contohnya adalah ketika berlangsung pandemi Covid-19 sebagai isu kesehatan manusia.
Pandemi Covid-19 memaksa pemerintah di penjuru dunia untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan kegiatan skala besar, yang dimaksudkan untuk mengurangi persebaran Covid-19 itu sendiri. Menutup tempat-tempat kerumunan dan dilakukannya kegiatan jarak jauh menjadi kebijakan yang umum diberlakukan oleh pemerintah. Aktivitas bekerja dan studi kebanyakan dirumahkan bersama pertolongan internet. Masalahnya tidak seluruh orang sanggup menjalankan kegiatan jarak jauh tersebut. Kurangnya fasilitas internet menjadi kasus terbesar didalam menjalankan kegiatan jarak jauh.
Baca juga: ‘Toxic Masculinity’ Bagi Kesehatan Mental Laki-laki
Hampir seluruh negara mengalami kesulitan didalam menanggulangi pandemi Covid-19 ini. Virus yang enteng menyebar ini pun tak memiliki pengecualian didalam menginfeksi korbannya. Siapa pun sanggup terinfeksi virus ini. Namun, keliru satu group yang menjadi perhatian didalam pandemi ini adalah pengungsi, yang mana mereka mencoba terlihat wilayahnya untuk memperoleh hak hidup. Sayangnya mereka selamanya terkena dampak berasal dari pandemi tersebut.
Pengungsi sendiri merupakan keliru satu isu yang tersedia didalam keamanan insani tak sekedar kasus kesehatan. Isu pengungsi sendiri telah mendapat perhatian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama ada Konvensi Terkait Status Pengungsi th. 1951 dan protokol 1967. Bagi negara yang menganeksasi ataupun meratifikasi konvensi tersebut harus untuk menjalankan kewajiban terkait pengungsi yang tercantum didalam konvensi tersebut.
Dengan ada paduan isu pandemi Covid-19 dan isu pengungsi jelas menjadi tantangan yang benar-benar bagi negara yang meratifikasi Konvensi Terkait Status Pengungsi th. 1951 tersebut. Pada satu sisi mereka mencoba melawan persebaran virus Covid-19, di sisi lain mereka pun mencoba mengakomodir para pengungsi yang terhitung terkena dampak Covid-19 itu sendiri. Hal tersebut kelanjutannya menjadi tantangan berlapis bagi negara.
Salah satu negara yang memiliki tantangan tersebut adalah Kenya. Kenya sendiri terhitung keliru satu negara yang mengaksesi Konvensi Pengungsi 1951 pada 16 Mei 1966, yang berarti Kenya memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi yang masuk berasal dari negara lain. Kenya sendiri menampung setidaknya 400 ribu pengungsi berasal dari beraneka negara.
Dampak Konflik Kenya
Banyaknya pengungsi yang ditampung tersebut apalagi telah menjadi tantangan pemerintah Kenya jauh sebelum saat terjadinya pandemi Covid-19. Salah satu kasus yang berlangsung yakni ada konflik antara para pengungsi bersama warga lokal di kamp pengungsian Dadaab, Kenya. Konflik antara warga lokal bersama pengungsi tersebut karena tindakan-tindakan pengungsi yang dirasa merugikan lingkungan tempat mereka tinggal. Penebangan pohon secara ceroboh menjadi keliru satu tindakan tersebut, yang mana berdampak pada pasokan sumber daya dan rusaknya lingkungan. Tensi konflik pun memanas ketika pandemi Covid-19, apalagi tak hanya warga lokal bersama pengungsi saja, tapi terhitung antar pengungsi itu sendiri.
Faktor lain yang membawa dampak konflik adalah kebijakan-kebijakan pemerintah Kenya yang dirasa hanya untung para pengungsi dan menganaktirikan warga-warganya sendiri. Contohnya pertolongan keperluan pokok, jaminan kesehatan, dan jaminan edukasi bagi para pengungsi. Kebijakan tersebut tak lepas berasal dari bentuk tanggung jawab Kenya pada Konvensi Terkait Pengungsi 1951 yang dianeksasinya.
Jaminan-jaminan yang telah diberikan pemerintah Kenya tersebut seakan tak berarti ketika pandemi berlangsung. Fasilitas-fasilitas yang jauh berasal dari kata cukup seakan menjadi hantu yang tetap meneror para pengungsi. Banyak kegiatan sehari-hari yang menjadi tidak efektif. Salah satunya ialah kegiatan studi mengajar. Minimnya internet menjadi kasus benar-benar bagi pengungsi, akibatnya mereka hanya sanggup studi bersama cara seadanya lewat saluran radio.
Dampak berasal dari ketidakefektifan kegiatan studi pun merubah kehidupan sosial dan mental anak-anak pengungsi. Banyak anak-anak yang mengalami penurunan stimulan belajar, yang akibatnya banyak anak-anak yang kabur berasal dari rumah, menikah dini, apalagi kecanduan narkoba. Banyak terhitung anak-anak yang terkena kejiwaannya, apalagi telah berlangsung kurang lebih 36 percobaan bunuh diri yang dijalankan oleh anak-anak pengungsi sepanjang pandemi. Hal-hal tersebut pun berlangsung akibat kurangnya hubungan yang berlangsung akibat ada Covid-19 itu sendiri.
Dampak psikologi berasal dari Covid-19 pun tak hanya berdampak pada pengungsi di Kenya saja, melainkan di negara-negara lain juga. Terdapat beraneka segi yang merubah psikologi pengungsi pas pandemi. Kurangnya kebolehan akses informasi, sulit terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok dan kesehatan (salah satunya kesehatan mental) akibat overcrowd, dan kurangnya relawan akibat kebijakan pembatasan oleh pemerintah menjadi segi utama didalam memburuknya psikologi pengungsi.
Dengan kasus tersebut, pemerintah setidaknya harus sanggup sedia kan akses informasi, fasilitas, dan proses yang lebih efisien untuk menanggulangi dampak psikologis para pengungsi.
Apabila kita lihat dampak psikologis pada para pengungsi yang diakibatkan kurangnya hubungan ketika Covid-19, maka pemerintah Kenya harus sanggup membawa dampak fasilitas yang sesungguhnya dimaksudkan untuk masyarakat berkumpul atau berinteraksi satu mirip lain, baik untuk anak-anak dan dewasa, dan terhitung antar masyarakat lokal bersama pengungsi.
Dengan hal tersebut pun tensi yang berlangsung antar masyarakat di Kenya sanggup menurun, bersama kata lain persoalan sosial sedikit demi sedikit sanggup diatasi.